Kamis, 16 Februari 2012

SECANGKIR WHITE COFFEE

           Dinda, teman sahabat saya, sangat menyukai kopi putih (white coffee ). Saya tertarik menulis kisah ini bukan karena kopi putihnya, tapi apa yang dipikirkan Dinda ketika sedang menikmati secangkir kopi putih. Menurutnya, saat ini ada yang sedang mengganjal hati dan pikirannya. Biasanya Dinda berlama-lama merenungi masalahnya dengan ditemani secangkir kopi putih. Seandainya masalahnya dapat dia selesaikan sendiri, mungkin dia tidak perlu menghabiskan bercangkir-cangkir kopi putih dalam memikirkan jalan keluar masalahnya, begitu keluh kesah Dinda.  
            Dinda adalah seorang wanita mandiri, berpendidikan, berkecukupan materi, dan memiliki pekerjaan yang dapat menjanjikan masa depan. Sahabat saya bilang, Dinda adalah contoh wanita cosmopolitan. Tapi ucapan sahabat saya itu malah membuat saya terheran-heran. Kalau memang Dinda memiliki kelebihan sebanyak itu, mengapa dia tidak dapat segera menyelesaikan masalahnya ?
            “Tidak semudah itu”, kata sahabat saya. Dinda resah karena belakangan ini desakan orang tuanya agar Dinda segera menikah semakin gencar. Terlebih setelah Ilham, adik laki-laki Dinda, merencanakan akan menikah pertengahan tahun ini.
            Saya pernah dua kali bertemu Dinda. Dengan penampilan fisiknya yang begitu menarik, rasanya bukan masalah bagi Dinda untuk mendapatkan pasangan. Tapi mungkin masalahnya tidak sesederhana itu.
Pernikahan adalah penyatuan dua individu dengan pribadi-pribadi yang berbeda. Pernikahan bukan hanya sekedar mengucapkan ijab kabul atau janji perkawinan. Pernikahan berarti siap menyerahkan diri dengan segala konsekuensinya dalam satu ikatan suci yang diakui Tuhan dan negara. Dan di atas itu semua perjodohan adalah kuasa Tuhan. Kita hanya dapat berusaha. Kalau memang belum tiba waktunya, apalah daya kita. Mungkin kita harus lebih menguatkan diri dan membulatkan keinginan.
                       
                       
           

Selasa, 07 Februari 2012

SURAT SEORANG IBU UNTUK ANAKNYA

 ( Teruntuk  Sahabatku, Anti )

         Anakku semata wayang, Riri yang paling kucinta. Apa kabarmu pagi ini ? Ibu  di sini baik-baik saja. Ibu sedang menikmati sunrise  Gunung Bromo. Kamu tahu tidak jam 4.00 dinihari ibu sudah mulai mendaki untuk sampai di tempat ini, agar dapat melihat detik-detik awal munculnya matahari terbit. Indah sekali, Riri. Sayang ibu bukan seorang penyair yang dapat menuliskan keindahan itu lewat kata-kata. Suatu hari nanti kamu harus datang ke sini  untuk  menyaksikannya.
          Riri, ibu ingin kamu tahu betapa ibu sangat menyayangimu. Seperti ibu-ibu lain, ibu juga  ingin  anak ibu mendapatkan  apa pun yang terbaik untukmu. Bila saat ini ibu jauh darimu itu hanya karena ibu sedang membutuhkan waktu. Ibu perlu udara segar agar dapat berpikir jernih. Ibu ingin suasana baru untuk  memperluas  cara pandang ibu. Riri, ibu pikir kamu sudah cukup besar untuk  mengerti maksud ibu.
          Selama beberapa hari ke depan jalanilah hari-harimu seperti biasa. Tetap ceria dan penuh semangat. Hadirkan ibu di dalam hatimu . Setiap pagi,  seperti biasa pula, akan ibu kirimkan doa  untukmu.
          Riri, jangan pernah marah pada ayahmu. Mungkin kita berdualah , terutama ibu, yang harus memahaminya. Karena, ayahmu sudah  berusaha  menjadi  ayah yang baik untukmu, menjadi suami yang baik untuk ibu. Kita sebenarnya keluarga yang bahagia, dan akan terus menjadi keluarga  yang berbahagia. Kita hanya perlu kekuatan lebih untuk menjalani semua ini. Kita hanya membutuhkan rasa saling menghargai  wilayah pribadi masing-masing lebih dari sebelumnya.
          Anakku, ibu ingin kita bertiga selalu bersama. Karena itu, tetaplah  menjadi Riri yang santun, ceria, dan penuh semangat hidup. Tak perlu cemas. Ibu baik-baik saja. Seperti yang ibu katakan  sebelumnya, ibu hanya perlu waktu. Ibu akan segera pulang dan kita berkumpul kembali.  Oh  ya, salam buat ayahmu.   
  
                                                    Bromo, Pebruari 2012
                                                                    Ibu