Senin, 22 Oktober 2012

WISATA DI PULAU UNTUNG JAWA


     Setelah sempat tertunda, akhirnya rencana liburan ke Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu terlaksana juga. Kedua anak saya begitu bersemangat. Mereka merencanakan berenang di tepi pantai dan mencari kerang. Saya juga ikut bersemangat karena dari informasi beberapa sumber menyatakan liburan di Pulau Untung Jawa cukup menyenangkan.
Kami memilih Tanjung Pasir- Tangerang sebagai tempat penyeberangan menuju Pulau Untung Jawa. Menyeberang melalui Tanjung Pasir lebih murah  dan lebih dekat sehingga dapat menghemat biaya dan waktu. Bisa juga melalui Pantai Marina- Ancol. Tetapi biayanya lebih mahal dan jarak tempuhnya lebih jauh. Mobil kami parkir di Pangkalan Angkatan Laut  yang terletak di bagian ujung terluar Desa Tanjung Pasir. Ada juga tempat parkir yang dikelola masyarakat. Namun, demi keamanan karena kami merencanakan akan menginap di pulau, maka kami parkir di Pangkalan AL.
Ini pengalaman pertama kedua anak saya naik perahu nelayan dan menyeberangi lautan. Mereka kelihatan begitu menikmati luncuran perahu membelah gelombang ombak Laut Jawa yang tidak besar. Perjalanan tidak sampai 30 menit. Kami tiba di dermaga Pulau Untung Jawa dan segera mencari rumah sewa untuk menyimpan barang bawaan dan beristirahat sejenak sebelum mulai menjelajah pulau. Beruntung kami mendapat rumah yang menghadap langsung ke pantai.
Dengan ditemani ayahnya, kedua anak saya pergi ke pantai mencari kerang. Cukup lama juga mereka pergi dan kembali dengan badan basah kuyup masih dengan pakaian bepergian. Kedua buah hati saya menyatakan kekecewaannya. Pasir pantainya dipenuhi serpihan-serpihan karang mati sehingga telapak kaki terasa sakit jika berjalan di atasnya. Tidak ada kerang di pantai, yang ada sampah-sampah.Padahal tujuan utama mereka ke sini mencari kerang. Saya menghibur mereka dengan rencana mencari kerang di bagian lain pulau.
Di depan rumah sewa sepanjang jalan utama pulau banyak pedagang pakaian yang bergambar atau bertuliskan identitas Pulau Untung Jawa. Pakaian-pakaian itu didatangkan dari Pasar Tanah Abang-Jakarta dan Pasar Cipulir-Tangerang. Untuk sayur-sayuran dan sembako dipasok dari Kampung Melayu-Tangerang.
Kami berjalan-jalan di hutan bakau. Banyak sekali kantong plastik hitam berisi bibit bakau. Rupanya penduduk pulau sedang melaksanakan program penanaman bakau. Di beberapa sisi pulau memang terlihat pagar balok beton sebagai penahan sekaligus pemecah ombak. Di sisi dalam daerah itu ditanami pohon bakau. Bakau merupakan tanaman yang paling tepat untuk menahan gelombang ombak dan mencegah terjadinya abrasi pantai.
Dari cerita pemilik rumah sewa, penduduk Pulau Untung Jawa banyak yang berasal dari Pulau Ubi, yang termasuk bagian dari Kepulauan Seribu juga. Pulau Ubi sekarang sudah tenggelam di dalam Laut Jawa karena termakan abrasi. Mungkin belajar dari pengalaman itu maka penanaman pohon bakau di Pulau Untung Jawa digalakkan.
 Sayang, di antara bibit-bibit bakau dan di tepi pantai bertebaran berbagai sampah plastik. Padahal menurut cerita di bagian belakang pulau terdapat tempat penimbunan sampah. Air laut di pantai hutan bakau sangat jernih sehingga kita dapat melihat dasar pantai. Di situlah kami menemukan kerang-kerang berukuran kecil dan sedang dengan berbagai bentuk cangkang. Tentu saja yang gembira kedua anak saya. Akhirnya mereka berhasil mendapatkan kerang laut.
Pantai di sini juga dipenuhi serpihan karang mati. Mungkin lebih tepatnya gunungan karang mati. Pertanyaan yang langsung muncul dalam benak saya adalah : Apa yang terjadi dengan terumbu karang di sekeliling pulau ? Apakah karang-karang di sana banyak yang mati ? Apa yang menyebabkan karang-karang itu mati ?
Di area sekitar hutan bakau banyak terdapat warung makan yang menjual berbagai olahan hidangan hasil laut. Kami sempatkan mencoba cumi bakar pada malam harinya. Suasana pulau begitu hening, damai, dan tenang. Sesekali angin berhembus perlahan. Suara deburan ombak di tepi pantai hampir tidak terdengar. Ada sensasi tersendiri menikmati suasana malam di pulau kecil yang dikelilingi milyaran kubik air laut. Rasanya saya tidak akan dapat melupakannya.
Pagi harinya kami bermain di tepi pantai. Menjelang siang kami menyewa perahu nelayan untuk memancing dan mengantar kami ke Pulau Rambut yang letaknya berdekatan dengan Pulau Untung Jawa. Pulau Rambut tidak berpenghuni dan merupakan pulau suaka burung-burung. [
Suami saya kebetulan suka memancing. Alat pancing kami beli melalui nelayan pemilik perahu. Rupanya nelayan di sini tidak memakai joran untuk memancing, hanya menggunakan tali pancing dan mata kail. Biasanya umpan yang dipakai udang segar. Tapi karena udang sedang tidak ada kami menggunakan cumi-cumi segar yang tadi pagi berhasil dipancing bapak pemilik perahu. Dengan alat pancing yang menurut saya cukup unik itu, saya tertarik untuk mencoba memancing.  
Perahu membawa kami ke perairan sekitar Pulau Untung Jawa dan Pulau Rambut. Jika sudah menemukan lokasi yang tepat, jangkar diturunkan dan perahu tertambat. Kami pun mulai melempar mata kail. Asyik juga memancing  dengan cara itu. Walaupun hasil pancingan saya tidak sebanyak suami dan bapak nelayan, tapi saya puas. Lumayan banyak ikan yang didapat. Oleh-oleh dari Laut Jawa. Kalau hanya lima kilogram saja, ada. Berbagai jenis ikan yang kami peroleh pernah saya lihat di pasar tradisional dan swalayan. Hanya satu yang saya ingat namanya, yaitu ikan kerapu.   
Rencana pergi ke Pulau Rambut batal. Kedua anak saya mulai rewel. Mereka sempat tertidur dan putri saya muntah karena mabuk laut. Mungkin karena perahu terombang-ambing ombak dalam waktu cukup lama. Kami kembali ke dermaga.
Menjelang  sore kami meninggalkan pulau. Naik perahu pulang kembali ke Tanjung Pasir. Sayonara Pulau Untung Jawa.             

Rabu, 29 Agustus 2012

MENGHARAP BERKAH RAMADHAN


Bulan ramadhan adalah bulan penuh berkah bagi umat muslim. Banyak pengharapan dikirimkan lewat doa-doa pada Allah Yang Maha Kuasa. Banyak pengampunan dimintakan pada Allah Yang Maha Pengampun.
          Berkah ramadhan itulah yang diharapkan Lina. Seperti ramadhan-ramadhan tahun sebelumnya, temanku itu beserta keluarga besarnya selalu melaksanakan umroh. Mereka berhari raya di Mekah dan baru pulang setelah usai lebaran.
          Tapi ada yang berbeda dengan umroh Lina kali ini. Sebuah pengharapan besar dihaturkan Lina di rumah Allah. Dia ingin kembali menjadi sejatinya dirinya sebagai perempuan. Kesadaran akan kesalahannya makin membulat dan melahirkan tekad untuk memperbaiki diri.
          Temanku itu berasal dari keluarga kaya. Sayang, kelimpahan harta tidak membuatnya bahagia. “Harta malah membuat aku jadi menderita,” begitu kata Lina setiap dia bercerita tentang kemalangannya.
          Lina seorang wanita single parents. Anak semata wayangnya kini duduk di kelas 1 SD. Jagoan kecilnya itu menjadi tumpuan kasih sayang Lina dan ibunya Lina. Sang nenek sangat sayang pada cucu satu-satunya itu. Tapi jangan pernah ditanya bagaimana kasih sayang sang nenek pada Lina, anak perempuannya. Lina adalah musuh besarnya yang harus diperangi.  Tidak dimusnahkan namun hanya perlu disakiti.
          Malapetaka dalam hidup Lina dimulai ketika dia menikah dengan seorang laki-laki pilihan ibunya. Lina menerimanya karena perasaan sayang dan hormatnya pada sang ibu sebagai satu-satunya orang tua yang masih dimilikinya. Suami Lina ternyata sangat pandai mengambil hati mertua.  Ibunya  mulai memperlakukan sang menantu dengan sangat istimewa.
          Suami Lina kini berani bersikap kasar terhadap dirinya. Kekerasan fisik maupun batin sering dialami Lina. Adalah hal yang biasa terjadi jika sang suami membangunkan Lina pagi hari dengan menendang tubuhnya seraya mengeluarkan kata-kata kotor atau menyebut nama-nama penghuni kebun binatang. Biasa terjadi juga jika bagian tubuh Lina bengkak dan lebam karena pukulan. Dan bila Lina mengadukan perlakuan kasar itu kepada ibunya, sang ibu tidak pernah membelanya malah justru menyalahkannya. Entah apa yang dibisikkan sang menantu. Kenyataannya Lina selalu terkalahkan.  
          Ketegaran Lina runtuh ketika dalam suatu pertengkaran hebat suaminya mengatakan fakta yang selama ini masih disembunyikannya.
          “Aku tidak pernah mencintaimu. Aku menikahimu karena harta kamu. Kalau kamu tidak memiliki harta, tidak akan pernah aku menikah denganmu !”
          Lina terpuruk. Perkawinannya kandas karena Lina menggugat cerai. Ibunya semakin membencinya. Saudara satu-satunya, kakak laki-laki Lina, tidak mau peduli. Sibuk dengan kehidupan bebasnya. Lina sendirian menanggung deritanya. Kehadiran buah hatinyalah yang membuat Lina masih ingin hidup.
          Lina jadi sangat membenci laki-laki. Perlakuan suaminya dulu meninggalkan luka teramat dalam. Tidak pernah dibayangkannya jika kemudian dia mendapatkan perhatian dan kasih sayang  seorang ibu, seorang kakak, dan ……… seorang kekasih dari seorang wanita bule. Lina bekerja di sebuah perusahaan asing dan wanita bule itu teman sekantor Lina. Hampir lima tahun mereka menjalin hubungan sebagai kekasih.    
          Baru setahun terakhir ini Lina mulai menyadari kekeliruannya. Seharusnya dia tidak boleh melakukan kesalahan ini. Lina tidak mau hidupnya semakin hancur. Tekadnya untuk memperbaiki diri telah bulat. Di ramadhan tahun ini dia ingin terlahir kembali. Suatu keinginan yang mulia. Mudah-mudahan Lina mendapatkan berkah ramadhan di rumah Allah.
          Untuk sahabat-sahabat Harumteh, SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI. Mohon maaf lahir dan batin karena manusia memang tempatnya khilaf dan salah.

FACEBOOK SIAPA INI ?

 
          Pada bulan Ramadhan kemarin saya dan beberapa teman sekantor mengadakan acara buka puasa bersama di sebuah rumah makan baru yang khusus menyediakan olahan makanan berbahan baku daging bebek, unggas favorit saya. Sambil menikmati daging bebek yang enak itu obrolan kami menjalar kemana-mana. Seorang teman saya menunjukkan update status sebuah profil facebook. Di situ tertulis informasi suatu peristiwa yang  dilakukan teman saya itu.
“Terus kenapa ?” tanya saya
“Sebenarnya cewek di kantor kita yang nggak punya facebook atau twitter bukan cuma kamu, aku juga.”
“Terus ini facebook siapa ? Kok dia tahu apa yang kamu lakukan ?”
Teman saya mengangkat bahu. “Itu yang sampai sekarang aku tidak mengerti.”
Awalnya teman saya tidak ambil peduli dengan keberadaan facebook tersebut. Dia mengetahui adanya profil facebook itu dari seorang teman. Setelah dia cermati isi profil itu, tidak ada alasan yang dapat membuatnya marah. Jadi dia santai-santai saja. Dia tidak pernah mengakses profil facebook itu, sampai suatu ketika dia menyaksikan suatu tayangan di sebuah televisi swasta.
Tayangan tersebut menceritakan kisah nyata seorang remaja putri di Jerman yang mengalami depresi karena ulah seseorang yang membuat profil facebook atas nama dirinya dan mengisi profil itu dengan informasi-informasi yang memalukannya. Si pembuat profil tidak berhasil ditemukan. Jejaring sosial tempat akun tersebut dibuat pun hanya bisa meminta maaf dan memblokir profil tersebut. Tapi si remaja putri sudah terlanjur malu dan stres berat. Polisi memasukkan kasus ini sebagai kejahatan di dunia maya. Karena ternyata kasus seperti ini tidak hanya banyak terjadi di Jerman, tapi juga di negara-negara lain.
Dan teman saya tidak ingin bernasib sama seperti remaja putri di Jerman itu. Kekhawatiran yang sangat wajar dan sangat beralasan menurut saya. Sayang, tidak ada yang dapat saya lakukan kecuali membesarkan hatinya. Saya katakan, anggap saja si pembuat profil facebook itu adalah seorang pengagum berat yang begitu perhatian pada dirinya sampai tahu segala sesuatu yang dilakukan teman saya itu. Dan siaplah menghadapi kemungkinan paling buruk bila itu sampai terjadi. Toh tidak hanya dia seorang yang mengalami masalah ini. Di luar sana ratusan orang atau bahkan mungkin ribuan orang bernasib sama.    
Kalau memang ini sisi negatif dunia maya, rasanya hanya kearifan jiwa yang dapat menghentikannya. Arif pada diri sendiri. Arif pada sesama manusia. Dan arif pada Tuhan Yang Maha Bijaksana.


Minggu, 29 April 2012

SETIAP ORANG PUNYA PILIHAN HIDUP SENDIRI

           Beberapa hari yang lalu secara tidak sengaja saya bertemu teman lama. Saya hampir tidak mengenalinya lagi. Memang terakhir kami bertemu hampir limabelas tahun yang lalu. Tapi perubahan pada dirinya sangat luar biasa. Kalau dia tidak menyapa saya lebih dahulu, mungkin saya tidak akan tahu kalau dia teman lama saya. Satu hal yang tidak berubah pada diri Ajeng, teman saya itu, gaya tertawanya yang malu-malu dan agak kemayu (genit).
            Ajeng sekarang adalah isteri seorang pengusaha sukses. Punya dua anak yang sedang beranjak remaja. Ajeng bercerita tentang keluarga bahagianya. Sebagai teman, tentu saya ikut senang melihat kebahagiaan Ajeng. Sayang, ada hal yang membuat saya tetap harus mengurut dada. Ajeng ternyata masih melakukan ‘keisengan’ yang dulu sering dilakukannya dan selalu saya protes. Dan Ajeng dengan santainya akan membiarkan protes saya masuk telinga kirinya dan keluar telinga kanan. Saya hampir tak percaya, bahkan setelah menjadi isteri dan seorang ibu pun, Ajeng masih melakukannya !
            Ajeng hanya tertawa dengan cara khasnya. Saya tidak protes lagi. Saya hanya terdiam memandangi wajah Ajeng yang semakin cantik. Saya mencoba memahami apa yang terjadi. Kalau dulu alasan Ajeng melakukannya karena ia butuh perhatian, maka sekarang apa alasannya ? Dia punya suami yang (mungkin) memperhatikannya dan yang pasti ia memiliki anak-anak yang membutuhkan perhatiannya.
            Ajeng beranjak pergi setelah menerima telepon dari seseorang. Bicaranya singkat saja tapi mampu membuat mata Ajeng berbinar-binar senang.
“Suami kamu ?” tanya saya.  
“ Biasa,” jawab Ajeng dengan mengedipkan matanya.”Setiap orang punya pilihan hidup sendiri,” bisiknya sebelum pergi. Tak lupa dia memberikan nomor telepon. Katanya biar bisa curhat-curhatan seperti dulu.
Sampai detik ini saya masih tidak mengerti. Apa yang sedang dicari Ajeng ? Mungkin jawabannya ada dalam pernyataan Ajeng sendiri, bahwa setiap orang punya pilihan hidup sendiri. Rasanya Ajeng sedang menyatakan hak pribadinya. Tapi bukankah hak harus sejalan dengan kewajiban ? Bukankah hak tidak berarti menabrak norma-norma dalam masyarakat apalagi aturan dalam agama ?  

Kamis, 16 Februari 2012

SECANGKIR WHITE COFFEE

           Dinda, teman sahabat saya, sangat menyukai kopi putih (white coffee ). Saya tertarik menulis kisah ini bukan karena kopi putihnya, tapi apa yang dipikirkan Dinda ketika sedang menikmati secangkir kopi putih. Menurutnya, saat ini ada yang sedang mengganjal hati dan pikirannya. Biasanya Dinda berlama-lama merenungi masalahnya dengan ditemani secangkir kopi putih. Seandainya masalahnya dapat dia selesaikan sendiri, mungkin dia tidak perlu menghabiskan bercangkir-cangkir kopi putih dalam memikirkan jalan keluar masalahnya, begitu keluh kesah Dinda.  
            Dinda adalah seorang wanita mandiri, berpendidikan, berkecukupan materi, dan memiliki pekerjaan yang dapat menjanjikan masa depan. Sahabat saya bilang, Dinda adalah contoh wanita cosmopolitan. Tapi ucapan sahabat saya itu malah membuat saya terheran-heran. Kalau memang Dinda memiliki kelebihan sebanyak itu, mengapa dia tidak dapat segera menyelesaikan masalahnya ?
            “Tidak semudah itu”, kata sahabat saya. Dinda resah karena belakangan ini desakan orang tuanya agar Dinda segera menikah semakin gencar. Terlebih setelah Ilham, adik laki-laki Dinda, merencanakan akan menikah pertengahan tahun ini.
            Saya pernah dua kali bertemu Dinda. Dengan penampilan fisiknya yang begitu menarik, rasanya bukan masalah bagi Dinda untuk mendapatkan pasangan. Tapi mungkin masalahnya tidak sesederhana itu.
Pernikahan adalah penyatuan dua individu dengan pribadi-pribadi yang berbeda. Pernikahan bukan hanya sekedar mengucapkan ijab kabul atau janji perkawinan. Pernikahan berarti siap menyerahkan diri dengan segala konsekuensinya dalam satu ikatan suci yang diakui Tuhan dan negara. Dan di atas itu semua perjodohan adalah kuasa Tuhan. Kita hanya dapat berusaha. Kalau memang belum tiba waktunya, apalah daya kita. Mungkin kita harus lebih menguatkan diri dan membulatkan keinginan.