Selasa, 22 Oktober 2013

PENJAGA NKRI DI PERBATASAN



       Hari itu saya pulang dari kantor lebih awal dari biasanya. Sambil menemani anak-anak bermain, saya menyaksikan sebuah tayangan TV. Film dokumenter mengenai perjalanan presenter TV tersebut ke pedalaman Kalimantan Barat, tepatnya ke daerah perbatasan Republik Indonesia dengan negara tetangga kita Malaysia.
          Saya benar-benar terpana menyaksikan tayangan itu. Jauh di dalam lubuk hati saya muncul kekaguman dan rasa hormat yang tinggi untuk saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di daerah perbatasan sana. Di sisi lain keharuan dan rasa miris melihat kondisi mereka terus melingkupi sampai tayangan itu berakhir.
          Tak pernah saya sangka kecintaan mereka terhadap NKRI sedalam itu. Rasa cinta yang mampu mengalahkan kenyataan pahit di sekitar mereka. Kondisi jalan tanah berlumpur yang panjangnya berpuluh-puluh kilometer untuk sampai ke kota terdekat, Sintang. Tak adanya aliran listrik ke wilayah mereka. Bagi yang memiliki uang mereka menggunakan genset. Tapi bagi yang tidak beruang itu berarti tidak ada barang elektronik yang dioperasikan menggunakan listrik. Bahkan di malam hari lampu neon pun dinyalakan dengan daya baterai.
          Saudara-saudara kita itu harus rela menyaksikan siaran TV dan siaran radio negara tetangga, karena belum ada jaringan pemancar TV maupun radio milik pemerintah Indonesia. Kondisi yang sama terjadi pada operator handphone. Dan ketika mereka jatuh sakit hingga memerlukan penanganan dokter, rumah sakit paling dekat adalah milik negara tetangga. Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pun didapat dari sana. Terlalu jauh dan terlalu mahal biaya perjalanannya kalau harus ke Sintang. Karena seringnya mereka melakukan transaksi dagang atau keperluan lain di negara tetangga, mata uang yang harus dimiliki ada dua, rupiah dan ringgit.
           Syukurlah, meskipun baru beberapa tahun terakhir ini sudah ada satu gedung SMP dan SMA di sana, karena selama ini hanya ada SD saja. Jadi tidak heran jika penduduk di wilayah itu kebanyakan lulusan SD.
           Semua kondisi itu sebenarnya sudah coba mereka laporkan pada pejabat terkait. Tapi hasilnya sampai saat ini hampir tidak ada perubahan nyata. Kehidupan mereka masih seperti yang dulu. Penuh kekurangan dan keterbatasan. Padahal keinginan mereka sederhana saja.
           Mereka ingin jalan tanah diaspal agar transportasi menjadi lancar, agar mereka bisa menjual hasil bumi, agar pemenuhan kebutuhan sehari-hari bisa didapat dari negeri sendiri.
           Mereka juga ingin listrik terpasang agar mereka tidak kegelapan, agar anak mereka bisa belajar di malam hari, agar radio dan televisi mereka bisa menjadi hiburan.
           Mereka ingin mempunyai jaringan pemancar TV dan radio milik negeri sendiri agar bisa mendapat informasi sama seperti saudara-saudara setanah air yang lain.  
          Inti keinginan mereka masih bersahaja. Sebagai bagian warganegara Indonesia, mereka ingin mendapat hak yang sama seperti warganegara Indonesia yang lain, meskipun mereka tinggal jauh dari pusat pemerintahan, bahkan menjadi  patok-patok hidup perbatasan negeri ini, menjadi tameng  keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar