Minggu, 29 April 2012

SETIAP ORANG PUNYA PILIHAN HIDUP SENDIRI

           Beberapa hari yang lalu secara tidak sengaja saya bertemu teman lama. Saya hampir tidak mengenalinya lagi. Memang terakhir kami bertemu hampir limabelas tahun yang lalu. Tapi perubahan pada dirinya sangat luar biasa. Kalau dia tidak menyapa saya lebih dahulu, mungkin saya tidak akan tahu kalau dia teman lama saya. Satu hal yang tidak berubah pada diri Ajeng, teman saya itu, gaya tertawanya yang malu-malu dan agak kemayu (genit).
            Ajeng sekarang adalah isteri seorang pengusaha sukses. Punya dua anak yang sedang beranjak remaja. Ajeng bercerita tentang keluarga bahagianya. Sebagai teman, tentu saya ikut senang melihat kebahagiaan Ajeng. Sayang, ada hal yang membuat saya tetap harus mengurut dada. Ajeng ternyata masih melakukan ‘keisengan’ yang dulu sering dilakukannya dan selalu saya protes. Dan Ajeng dengan santainya akan membiarkan protes saya masuk telinga kirinya dan keluar telinga kanan. Saya hampir tak percaya, bahkan setelah menjadi isteri dan seorang ibu pun, Ajeng masih melakukannya !
            Ajeng hanya tertawa dengan cara khasnya. Saya tidak protes lagi. Saya hanya terdiam memandangi wajah Ajeng yang semakin cantik. Saya mencoba memahami apa yang terjadi. Kalau dulu alasan Ajeng melakukannya karena ia butuh perhatian, maka sekarang apa alasannya ? Dia punya suami yang (mungkin) memperhatikannya dan yang pasti ia memiliki anak-anak yang membutuhkan perhatiannya.
            Ajeng beranjak pergi setelah menerima telepon dari seseorang. Bicaranya singkat saja tapi mampu membuat mata Ajeng berbinar-binar senang.
“Suami kamu ?” tanya saya.  
“ Biasa,” jawab Ajeng dengan mengedipkan matanya.”Setiap orang punya pilihan hidup sendiri,” bisiknya sebelum pergi. Tak lupa dia memberikan nomor telepon. Katanya biar bisa curhat-curhatan seperti dulu.
Sampai detik ini saya masih tidak mengerti. Apa yang sedang dicari Ajeng ? Mungkin jawabannya ada dalam pernyataan Ajeng sendiri, bahwa setiap orang punya pilihan hidup sendiri. Rasanya Ajeng sedang menyatakan hak pribadinya. Tapi bukankah hak harus sejalan dengan kewajiban ? Bukankah hak tidak berarti menabrak norma-norma dalam masyarakat apalagi aturan dalam agama ?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar