Hari
itu saya pulang dari kantor lebih awal dari biasanya. Sambil menemani anak-anak
bermain, saya menyaksikan sebuah tayangan TV. Film dokumenter mengenai
perjalanan presenter TV tersebut ke pedalaman Kalimantan Barat, tepatnya ke
daerah perbatasan Republik Indonesia dengan negara tetangga kita Malaysia.
Saya benar-benar terpana menyaksikan
tayangan itu. Jauh di dalam lubuk hati saya muncul kekaguman dan rasa hormat
yang tinggi untuk saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air di daerah
perbatasan sana. Di sisi lain keharuan dan rasa miris melihat kondisi mereka
terus melingkupi sampai tayangan itu berakhir.
Tak pernah saya sangka kecintaan
mereka terhadap NKRI sedalam itu. Rasa cinta yang mampu mengalahkan kenyataan
pahit di sekitar mereka. Kondisi jalan tanah berlumpur yang panjangnya
berpuluh-puluh kilometer untuk sampai ke kota terdekat, Sintang. Tak adanya
aliran listrik ke wilayah mereka. Bagi yang memiliki uang mereka menggunakan
genset. Tapi bagi yang tidak beruang itu berarti tidak ada barang elektronik
yang dioperasikan menggunakan listrik. Bahkan di malam hari lampu neon pun
dinyalakan dengan daya baterai.
Saudara-saudara kita itu harus rela
menyaksikan siaran TV dan siaran radio negara tetangga, karena belum ada
jaringan pemancar TV maupun radio milik pemerintah Indonesia. Kondisi yang sama
terjadi pada operator handphone. Dan ketika mereka jatuh sakit hingga
memerlukan penanganan dokter, rumah sakit paling dekat adalah milik negara
tetangga. Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pun didapat dari sana. Terlalu
jauh dan terlalu mahal biaya perjalanannya kalau harus ke Sintang. Karena
seringnya mereka melakukan transaksi dagang atau keperluan lain di negara
tetangga, mata uang yang harus dimiliki ada dua, rupiah dan ringgit.
Syukurlah, meskipun baru beberapa
tahun terakhir ini sudah ada satu gedung SMP dan SMA di sana, karena selama ini
hanya ada SD saja. Jadi tidak heran jika penduduk di wilayah itu kebanyakan
lulusan SD.
Semua kondisi itu sebenarnya sudah
coba mereka laporkan pada pejabat terkait. Tapi hasilnya sampai saat ini hampir
tidak ada perubahan nyata. Kehidupan mereka masih seperti yang dulu. Penuh
kekurangan dan keterbatasan. Padahal keinginan mereka sederhana saja.
Mereka ingin jalan tanah diaspal agar
transportasi menjadi lancar, agar mereka bisa menjual hasil bumi, agar
pemenuhan kebutuhan sehari-hari bisa didapat dari negeri sendiri.
Mereka juga ingin listrik terpasang agar mereka tidak kegelapan, agar
anak mereka bisa belajar di malam hari, agar radio dan televisi mereka bisa
menjadi hiburan.
Mereka ingin mempunyai jaringan
pemancar TV dan radio milik negeri sendiri agar bisa mendapat informasi sama
seperti saudara-saudara setanah air yang lain.
Inti keinginan mereka masih bersahaja. Sebagai bagian warganegara
Indonesia, mereka ingin mendapat hak yang sama seperti warganegara Indonesia
yang lain, meskipun mereka tinggal jauh dari pusat pemerintahan, bahkan menjadi patok-patok hidup perbatasan negeri ini,
menjadi tameng keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang kita cintai ini.